Pengalaman Setahun Pertamaku di Jerman (Aufnahmetest, Studienkolleg, Feststellungsprüfung, Ferienjob)
Meraih Asa di Jerman
Jerman. Negara ini banyak menjadi labuhan mimpi para
pelajar Indonesia, begitu pula aku. Ada yang ingin dari hati, ada pula yang
hanya gengsi. Ada yang niat sendiri, ada pula yang dipaksa orang tua. Semua
punya cara dan tujuannya masing-masing untuk meraih asa di Jerman.
Aku sudah merindu Jerman sejak kanak. Namun, bagaimana
bisa merindu jika tak pernah bertemu? Ah iya, dulu aku pernah tinggal di Jerman
saat ayahku sedang menempuh studi doktoralnya di Heidelberg. Sekitar tiga tahun
lamanya kami hidup di Jerman. Setelah beliau lulus, kami sekeluarga kembali ke Tanah
Air. “Untuk Indonesia”, kata ayahku menghibur kekecewaanku. Aku rindu, mungkin
hatiku tertinggal di Jerman.
Berselang waktu lamanya mimpiku tetap sama: Kuliah di Jerman.
Mungkin bagi banyak orang, mereka melihatku bahwa perjalananku ke Jerman terbilang mulus. Padahal kenyataannya berbanding terbalik. Untuk kursus Bahasa Jerman saja uangnya bisa dibilang kurang. Hingga akhirnya, aku harus belajar sendiri di rumah mengandalkan ingatanku dan dengan bantuan buku-buku bekas ayahku dulu. Selama tiga bulan lamanya aku belajar mandiri hingga tingkat B1. Sembari belajar Bahasa Jerman, aku nyambi kerja menjadi tutor di beberapa sekolah untuk kelas olimpiade. Akhirnya uang untuk kursuspun terkumpul dan aku bisa kursus intensiv B2 di salah satu institusi Bahasa Jerman di Jakarta.
Masalah lain muncul. Saat ingin membuka konto bank, uangnya belum juga cair dari deposito. Jujur aku merasa tidak enak merepotkan orang tuaku sekaligus aku sedikit takut apabila mimpiku ini harus tertunda. Aku bersyukur bisa melanjutkan pekerjaan sementaraku sebagai tutor olimpiade sehingga kekurangan uang tabungan sebagai syarat studi di Jerman pun tertutupi. Terlebih lagi, aku bertemu dengan seseorang yang sangat spesial saat aku bekerja. Dia selalu memberiku semangat dan senyumannya lunturkan semua susahku. Aku kagum dengannya. Walau kami sekarang jauh terpisah benua dan samudera, dia tetap setia dengan celotehan dan candaannya. Mungkin benar kata seorang pujangga: Kirana Mentarinya dari Jakarta menjelma menjadi kirana Rembulan di kotaku.
Totalnya, aku mendapatkan surat undangan tes masuk dari delapan Studienkolleg. Walau begitu, empat darinya harus aku batalkan akibat keterlambatan visaku. Sedih rasanya, tetapi aku tetap berdoa dan terus belajar untuk tes masuk Studienkolleg.
Berselang waktu lamanya mimpiku tetap sama: Kuliah di Jerman.
Mungkin bagi banyak orang, mereka melihatku bahwa perjalananku ke Jerman terbilang mulus. Padahal kenyataannya berbanding terbalik. Untuk kursus Bahasa Jerman saja uangnya bisa dibilang kurang. Hingga akhirnya, aku harus belajar sendiri di rumah mengandalkan ingatanku dan dengan bantuan buku-buku bekas ayahku dulu. Selama tiga bulan lamanya aku belajar mandiri hingga tingkat B1. Sembari belajar Bahasa Jerman, aku nyambi kerja menjadi tutor di beberapa sekolah untuk kelas olimpiade. Akhirnya uang untuk kursuspun terkumpul dan aku bisa kursus intensiv B2 di salah satu institusi Bahasa Jerman di Jakarta.
Masalah lain muncul. Saat ingin membuka konto bank, uangnya belum juga cair dari deposito. Jujur aku merasa tidak enak merepotkan orang tuaku sekaligus aku sedikit takut apabila mimpiku ini harus tertunda. Aku bersyukur bisa melanjutkan pekerjaan sementaraku sebagai tutor olimpiade sehingga kekurangan uang tabungan sebagai syarat studi di Jerman pun tertutupi. Terlebih lagi, aku bertemu dengan seseorang yang sangat spesial saat aku bekerja. Dia selalu memberiku semangat dan senyumannya lunturkan semua susahku. Aku kagum dengannya. Walau kami sekarang jauh terpisah benua dan samudera, dia tetap setia dengan celotehan dan candaannya. Mungkin benar kata seorang pujangga: Kirana Mentarinya dari Jakarta menjelma menjadi kirana Rembulan di kotaku.
Totalnya, aku mendapatkan surat undangan tes masuk dari delapan Studienkolleg. Walau begitu, empat darinya harus aku batalkan akibat keterlambatan visaku. Sedih rasanya, tetapi aku tetap berdoa dan terus belajar untuk tes masuk Studienkolleg.
Sebenarnya, perjuangan yang kuceritakan tadi tidaklah terlalu berat, karena yang terberat adalah saat-saat di bandara. Perpisahan dengan orang-orang yang kita sayang memanglah berat. Detik itulah kita akan memupuk rindu. Kelak, rindu itu akan terbayar di pintu kedatangan.
Setelah sampai di Jerman, aku langsung menuju Nordhausen.
Di situlah aku mengikuti tes masuk dan hasilnya adalah “Warteliste”, alias aku berada di daftar tunggu dan harus berharap
agar ada orang lain yang tidak mengambil kursinya. Di dua Studienkolleg
lainnya, aku gagal. Sebenarnya aku diterima di Studienkolleg keempat, tetapi
biayanya terbilang cukup mahal. Sesaat sebelum memutuskan untuk mengambil Studienkolleg
keempat, aku menerima e-mail bahwa aku diterima di Studienkolleg Nordhausen.
Mendengar hasil tersebut aku langsung girang dan segera mencari tempat tinggal
tetap.
Warteliste Studienkolleg Nordhausen |
Diterima di Studienkolleg Hannover |
Pada mulanya aku berpikir bahwa Studienkolleg adalah
masa-masa paling membosankan dalam hidupku. Bayangkan saja, aku sudah gap year setahun, lalu aku harus
mengulang pelajaran SMA lagi selama satu tahun. Teman-teman seangkatanku sudah
masuk semester lima kuliah, sedangkan aku baru lulus “SMA”.
Jenuh dan bosan, seolah tidak ada perkembangan apa pun dalam studiku.
Suatu saat, ada temanku yang meminta contekan saat sedang Klausur (ujian) dan aku tidak memberikannya. Sejujurnya aku iba karena ia pernah tidak naik kelas di semester sebelumnya. Setelah ujian selesai, aku berbicara dengannya, bahwa aku ingin membantunya dengan mengajarinya, bukan dengan memberikan contekan. Sejak saat itu aku membantunya dalam belajar, khususnya untuk Fisika dan Matematika. Beberapa temanku yang lain juga memintaku untuk menjadi tutor mereka. Senang rasanya melihat mereka belajar menjadi bisa dan sekaligus aku bersyukur mendapat kesempatan semakin banyak berbincang dalam Bahasa Jerman.
Semester satu Studienkolleg kulalui dengan lancar. Tingkat kesulitan pelajarannya pun mirip dengan SMA di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah semester dua Studienkolleg, terutama pelajaran Matematika dan Fisika. Waktu di Indonesia, aku hanya belajar terapan dan tidak begitu paham asal muasal dari suatu rumus. Berbanding terbalik dengan di Indonesia, siswa-siswi di Jerman wajib bisa menjabarkan suatu rumus. Prinsip “asal jawabannya benar” tidak berlaku di sini. Walau aku merasa caraku sudah lengkap dan jawabannya benar, tetap saja ada kesalahan yang menurut orang Indonesia adalah kesalahan minor, pengurangan poin pada akhirnya harus aku terima. Di titik ini aku belajar bahwa proses itu lebih penting daripada hasilnya. Mungkin sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan jawaban akhir daripada caranya dapat membentuk karakter yang kurang baik. Banyak orang yang ingin mendapatkan prestasi, harta, status, dan jabatan dengan cara yang tidak halal. Mereka tidak memedulikan proses yang ditempuh dan cenderung langsung ingin hasil akhirnya.
Selain itu, sekolah di Jerman tidak mengenal sistem ranking, sehingga motivasi anak dalam belajarpun bukan sekedar mendapat nilai tertinggi dan menjadi yang terbaik. Saat di Indonesia, aku pernah mendapat peringkat di bawah 20 besar. Mereka mengolokku dan mencap aku sebagai anak yang tidak bisa apa-apa. Sekaligus aku pernah mendapat peringkat 1 di kelas. Namun tetap saja, ketika aku tidak mau memberikan contekan, mereka mencap aku sebagai anak yang sombong. Entahlah, banyak orang yang hanya membanding-bandingkan secara nilai dan bersaing secara tidak sehat. Saat di Jerman aku belajar bahwa peringkat kelas tidaklah penting. Hal terpenting dalam belajar bukanlah menjadi terbaik di kelas, tetapi menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, karena tiap individu itu unik dan mempunyai talentanya masing-masing.
Ada hal konyol yang pernah kualami saat pelajaran Informatika. Waktu itu aku sedang mengikuti Klausur dengan bobot nilai yang cukup tinggi. Aku merasa senang karena bisa mengerjakannya. Saking senangnya, aku pulang dan tidak sadar bahwa kertas ujiannya terbawa dalam tasku. Aku langsung panik dong. Benar saja, aku mendapatkan nilai 6, alias 0 kalau pakai sistem nilai Indonesia. Entahlah aku harus sedih atau apa, tetapi saat itu aku justru ingin tertawa akibat kekonyolanku.
Ujian kelulusan pun tiba. Tiga ujian akhir yang kuambil
adalah Bahasa Jerman, Matematika, dan Fisika. Untuk pelajaran Matematika, aku
tidaklah siap. Bagaimana tidak, guru Matematikanya sakit dan selama tiga bulan
lebih kami tidak ada pelajaran Matematika. Banyak pula teman-temanku yang
panik. Apalagi materi pelajarannya pun tidak pernah diajarkan di negara asal
kami.
Saat hasil ujian keluar, aku bersyukur mendapatkan nilai yang terbilang bagus, walau Matematikanya tidak sebagus yang kuharapkan, tapi masih Ok lah. Di sisi lain, aku sedih karena ada salah satu teman baikku yang tidak lulus ujian tertulis Matematika. Dia harus mengikuti ujian ulang plus presentasi jawaban di papan tulis. Kami terus belajar bersama hingga hari ujian ulang pun tiba. Senang rasanya ketika dia akhirnya lulus. Untuk merayakannya, kami berdua jalan-jalan ke Pegunungan Harz. Pegunungan tengah Jerman berumur Trias-Kapur yang sangat hijau dengan udara nan sejuk.
Thale/Harz - 29.06.2019 |
Setelah pembagian ijazah, aku langsung mendaftar ke
Uni-Jena. Tak seperti kebanyakan orang yang mendaftar di banyak universitas,
aku hanya mendaftar ke Jena. Mungkin Jena adalah salah satu surganya para
geolog. Lokasinya sangat strategis untuk penelitian dan ekskursi Geologi.
Seperti ceritaku sebelumnya, aku tidak mencari universitas top dengan peringkat
terbaik, tetapi aku melihat semua modul berbagai universitas di Jerman dan
membandingkannya dengan minat dan mimpiku. Pada akhirnya aku memilih Jena.
Zeugnisausgabe/Absolventenfeier - 04.07.2019 |
Sembari menunggu mulainya masa kuliah, aku bekerja di
salah satu restoran cepat saji (Subway). Terbilang susah untuk mendapatkan tempat kerja
di Jerman. Aku sudah mendaftar ke beberapa toko roti dan perkantoran, tetapi
tidak ada satupun yang menerimaku. Hingga akhirnya aku bertanya ke salah satu
temanku apakah ada lowongan di tempat kerjanya. Setelah menjalani masa
percobaan selama beberapa hari, akhirnya aku resmi diterima sebagai salah satu
pegawai di restoran cepat saji tersebut. Kalau kata anak zaman sekarang, “untuk mengisi kegabutan dengan hal yang berfaedah”. Selama tiga
bulan ke depan aku akan bekerja sebelum pindah ke Jena. Memang benar ya,
hubungan kita dengan sesama lebih penting dibanding dari semua prestasi kita.
Asaku untuk kuliah di Jerman akhirnya berhasil kuraih. Kini aku mempunyai asaku yang lain: Berkontribusi dan berbuat sesuatu untuk Indonesia di kemudian hari. “Untuk Indonesia”, seperti kata ayahku.
Meraih asa tidaklah mudah. Banyak yang harus dikorbankan dan diperjuangkan. Kita akan terus dibentuk dalam proses tersebut. Mungkin filosofi mendaki gunung paling cocok untuk menutup kisahku ini. Kita akan bertemu banyak halang rintang selama pendakian, tetapi rasa lelah itu akan hilang ketika kita menikmati pemandangan sekitar dan terus merindu akan puncaknya. Saat sampai di puncak, semua lelah itu kan terbayar. Oiya jangan lupa, kita harus kembali turun dan bersiap untuk menggapai asa yang berikutnya.
Brandenburger Tor Berlin - 06.01.2019 |
KPPSLN bersama Dubes RI untuk Jerman Pak Arif Havas Oegroseno - 12.04.2019 |
TPS 2 Berlin Pemilu 2019 - 13.04.2019 |
TPS 2 Berlin Pemilu 2019 - 13.04.2019 |
Rekapitulasi Hasil Pemilu 2019 TPS Berlin (news.detik.com) - 17.04.2019 |
Rekapitulasi Hasil Pemilu 2019 TPS Berlin (www.dw.com) - 17.04.2019 |
Referat der Hausarbeit - 06.05.2019 |
Sommerfest Stk. Nordhausen (Tari Saman) - 14.05.2019 |
Sommerfest Stk. Nordhausen (Tari Saman) - 14.05.2019 |
Persekutuan Kristen Nordhausen - 08.06.2019 |
"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan penuh harapan." – Yeremia 29:11
Perjuangan meraih asa.
terima kasih atas sharingannya, sangat membantu, semoga Tuhan Yesus memberkati pelayanan dan studimu.
BalasHapusTuhan memberkatimu juga :)
HapusMas, kamu menginspirasiku tahu? Meskipun aku udah menyadari bahwa tingkatanku nggak nyampe OSK pun, aku masih punya mimpi. Terbang ke Jerman? yea, Jerman. Apa aku selevel dengan Jerman?
BalasHapusJangan pernah ragu untuk bermimpi dan jangan pernah takut untuk gagal. Gaada hal yang ga mungkin kalo kita berusaha dan berserah ke Tuhan. Kamu pasti dapat jalan yang terbaik untuk masa depanmu. Semangat!
HapusMkin ganteng aja bang
BalasHapusWih ada Geo mampir.. wkwkk
HapusKak boleh tanya kakak dulu tes masuknya di stk mana aja? Soal masuknya menurut kakak paling susah di stk mana? Terimakasih.
BalasHapusHalo, dulu aku tes di Stk. Nordhausen, Halle, Leipzig, Hannover. Sebenernya jawaban dari pertanyaanmu itu relatif dan subjektif banget, gabisa dipukul rata buat semua orang. Menurutku paling gampang Hannover dan Leipzig. Nordhausen menengah, lalu kalo Halle ada esainya, jadi lebih susah. Yang penting berusaha semaksimal mungkin. Mental pejuang tuh berani hadapin sesuatu yang sulit.
HapusHalo kak terimakasih atas jawabannya. Iya saya lagi siap2 buat anp tapi takut , jadi minder banget. Tanya yg paling susah supaya bisa mempersiapkan dg matang di anp stk tersebut.
HapusOkey, mangat yaaa! Perbanyak latihan soal. Ich drücke dir die Daumen und viel Erfolg bei der Aufnahmeprüfung! :)
HapusTerimakasih banyak ya kak☺ sukses terus untuk kakaknya juga. Kalau masuk g/s kurs itu kalau dari jurusan ipa bisa kan kak?
HapusSetauku yang jurusan IPA bisa masuk ke Kurs apa aja deh, hehee..
HapusSangat menginspirasi bro,btw aku dh coba soal dari studienkolleg aufnameprufungnya lumayan gampang,aber gk bisa jadi patokan lulus ya?Karena berberapa negara kayak china dan taiwan kurikulumnya lebih tinggi.Harus siap belajar nih wkwkw.
BalasHapusTes Aufnahmeprüfung memang jauh lebih "gampang" jika dibandingkan dengan UAS saat kita SMA. Tapi jangan salah, karena Jerman terkenal dengan "Gampang masuk, susah lulus". Dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman terkena drop out.
HapusWah, gak nyangka ketemu Jenaer di sini hehehe. Anak-anak Indo apa masih sering kumpul dengan Bu Tini dan Pak Jörn? Dulu di sana pelajar dari tanah air ngga begitu banyak, yang rame cuma di Nordi sama anak Studkol. Gimana dengan sekarang?
BalasHapusWah Jenaer juga nih? Aku masih baru di Jena, tau Bu Tini, tapi belum pernah ketemu. Gara2 Corona jadi belom sempat ngumpul2 bareng temen2 Indo. Studkol Nordi kalo WS sepi, angkatanku cuman 4 orang, tapi kalo SS bisa belasan.
HapusMantan bro, hehehe. Semoga kalo ada kesempatan bisa mampir ke sana.
HapusBTW dulu kita kalo butuh duit tambahan suka ikut jäten alias nyabutin rumput di http://the-jena-experiment.de/index.php/hiwi-box/. Masih gak tuh sekarang?
Iya masih banyak iklannya dia. Aku belum pernah sih. Sekarang nyambi jadi HiWi Tutor di Univ~
HapusHalo Frans, salam kenal, mau tanya dlm kondisi Pandemi begini, apa lebih baik saya pilih Stk yang ada di BSD (afiliasi dgn Hannover Dan Mainz)saja drpd Stk Di Jerman. Apakah anda punya masukan ttg ini?Terima kasih
BalasHapusHalo, maaf baru baca nihh. Semoga kamu udah dapet tempat terbaik!
Hapus